LAPORAN BACAAN
PENGAJARAN APRESIASI SASTRA
“SELUK BELUK PENGAJARAN KBK NOVEL”
Oleh Kelompok 10:
Lisa Martantia 96367/2009
Inong
Elistia 54445/2010
Firmansyah
18131/2010
Prodi. Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia dan Daerah
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA SASTRA DAN
SENI
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2012
SELUK BELUK PENGAJARAN KBK NOVEL
A.
Efikasi
Pengajaran Novel sebagai Fiksi
Efikasi
berarti kemujaraban. Efikasi pengajaran fiksi berhubungan dengan pengaruh kemujaraban
fiksi bagi subjek didik. Fiksi adalah bentuk sastra yang seakan-akan melukiskan
peristiwa atau kisahsesungguhnya. Fiksi tergolong karya prosa yang bersifat
imajinatif.
Fiksi
biasanya terdiri dari novel, cerpen,dongeng,dan roman. Cerita fiksi yang
dikemas manis, seolah-olah akan mencerminkan kehidupan nyata, sehingga bila
dijadikan sebagai bahan pelajaran akan semakin menarik. Harapan demikian akan
menjadi kenyataan, apabila pengajaran mengajak subjek didik untuk membacadan
menikmati.
Cepat
atau lambat keberhasilan pengajaran fiksi tentu akan membawa dampak positif
terhadap kehidupan subjek didik. Sayuti (1994: 5) mengatakan karya sastra
bersifat evokatif dan sugestif. Karya sastra evokatif akan mampu memberikan daya
gugah agar manusia (yang menghayati) semakin sadar akan eksistensinya sebagai
makhluk yang bertanggung jawab terhadap kehidupan, dan karya sastra bersifat sugestif akan lebih memiliki potensi
untuk memberikan daya saran alternatif.
Pengajaran
fiksi yang sampai menyentuh ke daya efikasi,
tentu akan sangat efektif membentuk pribadi subjek didik. Dengan demikian,
dapat ditarik kejelasan bahwa pengajaran fiksin yang berhasil akan mendapatkan
daya:
1. Antisipatif,
mampu dan tanggap (tanggap sasmita) untuk mengontrol, meneropong, mengarahkan
kehidupan yang mengejala ke luar rel.
2. Filter, akan
menyaring terhadap moralitas subjek didik, kepribadian, dan budaya bangsa pada
umumnya.
3. Benteng pertahanan, sebagai
tanggul baja terhadap penyimpangan- penyimpangannorma kehidupan (Endraswara,
1998:53)
B. Strategi Baru Pengajaran KBK Novel
1. Mentradisikan
Membaca Novel
Selama
ini, pengajaran novel memang dipandang terlalu ketat bagi subjek didik dan
pengajarnya. Alasannya adalah (1) tidak tersedianya cukup waktu di sekolah
untuk membaca novel sampai tuntas, (2) di sekolah tidak tersedia aneka judul
novel yang layak sebagai pilihan, dan (3) hampir setiap novel yang
dipandangberkualitas relatif tebal.
Tugas
seorang pengajar novel memang sedikit berbeda dengan pengajaranfiksi lain,
cerpen misalnya. Apalagi, novel merupakan karya yang tebal dan tentu akan
menyedot dana yang relatif banyak, tentu harus hati-hati untuk menuju
pengajaran yang efektif dan efisien. Yang harus dilakukan seorang pengajar
novel adalah:
1. Mendorong
subjek didik agar berminat dan tekun membaca, memilih sendiri novel yang
disukai, dan membuat sinopsis sendiri.
2. Menghindari
subjek didik hanya membaca sinopsis novel dari orang lain.
3. Memberikan
contoh cara membaca novel yang baik.
4. Membaca
novel sebaiknya diarahkan sebagai tugas rumah secara individual, dari tugas
tersebut selanjutnya dibicarakan dan dididkusikan dalam kelompok kecil.
5. Setiap
kelas dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing dapat membaca novel
yang berbeda, seterusnya diadakam diskusi.
6. Setiap
semester diadakan lomba membaca sinopsis novel.
7. Setiap
diadakan lomba sebaiknya yang dilombakan lebih dari lima judul novel untuk
mengevaluasi sedikit-banyaknya subjek didik membaca novel.
Dari tugas-tugas pengajar tersebut, tampak
sekali bahwa membaca novel adalah suatu keharusan bagi subjek didik. Subjek
didik seyogyanya terus-menerus didorong, diberikan sugesti, dan diberi peluang
untuk membaca. Tradisi membaca novel ini harus dibudayakan sejak awal masuk
sekolah, agar tiodak menemukan kesulitan dikemudian hari. Karena, novel
tergolong karya tebal yang tidak bisa dibaca sekali duduk.membaca novel perlu
konsentrasi, meskipun ada novel yang layak untuk selingan. Karena, itu pengajar
harus jeli dalam mengarahkan subjek didik untuk membaca novel.
2. Seleksi
Novel
Pengajar
sastra, kadang-kadang merasa sulit menentukan novel mana yang relevan
diajarkan. Dalam jagad sastra Indonesia, terlalu banyak terbitan novel yang
mengalir deras. Mulai dari novel serius, sampai novel hiburan.
Yang
penting dalam pengajaran sastra, termasuk novel, kalau berpijak pada asumsi
Rodrigues dan badaczweski (1978:93) ada pepatah yang berbunyi “you can lead a horse to waterbut can’t make
him drink”. Pepatah ini mengibaratkan bahwa pangajar boleh saja
mengasumsikan subjek didik sebagai “Kuda” dan novel seperti “air”. Kita boleh
saja mengajak subjek didik agar membaca sejumlah novel, namun mau tidaknya
subjek didik menikmati tergantung interes subjek didik. Pengajar tak dapat
memaksa subjek didik harus membaca novel tertentu, melainkan hanya boleh
memberikan rambu-rambu dengan iklim kebebasan.
Hampir
semua orang memahami, kalau sistem pengajaran novel di sekolah hampir dilakukan
dengan sistem top down. Subjek didik sudah diberi barang jadi, telah dipilih
oleh penulis buku, oleh perancang kurikulum,dan juga oleh pengajarnya. Jarang
sekali ada sekolah yang mampu melanggar dari sistem yang telah diatur dan
tertata rapi itu, kalau tidak mau subjek didiknya kalang kabut dalam menjawab
soal-soal ujian.
Zulfahnur
(1989:165) menyatakan, tugas pengajar sastra antara lain menyeleksi novel
sebagai bahan ajar. Tugas ini, tentu harus dipahami sebagai upaya untuk
menentukan beberapa novel alternatif yang akan menjadi pilihan subjek didik.
Tugas demikianlah, bukanlah mutlak dan harga mati. Karena itu, tugas yang
diemban dipandang sebagai pelayan saja, untuk meneleksi novel mana saja yang
layak dibaca oleh subjek didik pada tingkat tertentu.
Persoalan
yang mungkin hadir, dari tugas ini antara lain:
1. Pengajar
sering mengandalkan novel tertentu sesukanya atau menurut seleranya.
2. Pengajar
belum tentu memiliki koleksi novel yang cukup.
3. Pengajar
yang kurang menguasai kriteria seleksi novel, juga akan menyesatkan.
Seleksi novel memang menjadi ujung
tombak keberhasilan pengajaran. Hal ini ditegaskan Moody (1971:44), jika
seleksi novel dilakukan secara baik dan mendalam dengan penuh khayalan, bentuk
sastra ini akan dapat mengembangkan minat dan ketaatan subjek didik dalam
membaca novel, dan selanjutnya mereka akan mau membaca novel secara pribadi.
Secara garis besar, untuk memilih novel
perlu memperhatikan dua hal, yaitu kevalidan dan kesesuaian. Kevalidan
berhubungan dengan kriteria dari aspek-aspek kesastraan, sedangkan kesesuaian
berkaitan dengan subjek didik sebagai konsumen novel dan proses pengajaran
novel. Kevalidan, meliputi berbagai hal, antara lain novel harus benar-benar
teruji sehingga ditemukan good novel.
Untuk itu penyeleksi dapat menerapkan kriteria: (1) mencari novel yang memuat
nilai pedagogis, (2) novel yang mengandung nilai estetis, dan (3) novel yang
mudah dijangkau.
Valid tidaknya sebuah novel, perlu
memperhatikan konteks bentuk dan isi. Karenanya, seleksi novel perlu
memperhatikan kejelasan tema, alur, bahasa, watak, latar, dan pusat pengisahan.
Menurut Wardani (1981:35) perlu pula memperhatikan lukisan peristiwa, lukisan
perasaan, diksi, susunan kalimat, dan urutan peristiwa (alur).
Dalam kaitannya dengan isi, Rodrigues
dan Badaczewski (1978:91) novel yang dipilih sebagai bahan ajar adalah:
a. Novel
yang dapat membantu subjek didik ke arah pemahaman tingkah laku diri sendiri
maupun orang lain.
b. Novel
yang dapat membantu subjek didik dalam mengisi nilai-nilai estetis dalam
hidupnya.
c. Novel
yang dapat membantu subjek didik untuk mengidentifikasi tingkah lakunya.
d. Novel
yang menawarkan pemahaman terhadap tingkah laku manusia.
Dalam hal isi, pengajar satra hendaknya
juga mampu memilih novel yang menggambarkan kehidupan manusia agar menjadi
manusia yang sempurna, dan memiliki jiwa kemanusiaan sejati, mengenal
nilai-nilai hakiki, dan mendapatkan ide-ide baru (Semi,1993:153).
Dalam kaitan dengan novel yang
mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, Levine (1974:11-13) berpandangan bahwa,
novel yang diajarkanhendaknya dapat bdipahami secara keseluruhan dan bukanlah
novel yang menyesatkan. Istilah lain dari novel demikian adalah “realisme”,
novel yang menggambarkan dunia nyata kehidupan manusia. Ciri-ciri novel
realistik, menurut Levine ada enam hal, yaitu: (1) menghadirkan plenampilan
pengalaman secara rinci, (2) menyuguhkan tokoh-tokoh halnya dalam kehidupan
sosial, (3) menghadirkan lingkungan sosial dan saling pengaruh-mempengaruhi
antara tokoh dan masyarakat, (4) kadang-kadang menghadirkan pikiran tokoh
secara detail, (5) menampilkan tokoh yang tidak sederhana, melainkan tokoh yang
kompleks, dan (6) lukisan tokoh simbolik atau alegori boleh-boleh saja.
Kesesuaian, dapat ditempuh melalui
kriteria: (a) bahasanya tidak terlalu sulit diikuti subjek didik, (b) sejalan
dengan lingkungan sosial budaya subjek didik, (c) sesuai dengan umu, minat, dan
perkembangan kejiwaan, dan (d) memupuk rasa keingin tahuan.
C. Penyajian KBK Novel: Model Gordon
Model
Gordon menekankan pada keaktifan dan kreatif subjek didik yang dikenal dengan
CBSAK (cara belajar siswa aktif kreatif). Dalam proses sinektik diperlukan keterlibatan emosional subjek didik. Model
Gordon mengenal tiga teknik, yaitu:
1. Analogi
personal
Subjek
didik diajak mengidentifikasi unsur-unsur masalah yang ada dalam novel.
2. Analogi
langsung
Dalam
hal ini masalah yang telah diidentifikasi pada tahap analogi personal mulai
disejajarkan dengan lingkungan sosial budaya subjek didik.
3. Konflik
kempaan
Yaitu
mempertajam pandangandan pendapat pada posisi masing-masing, terutama dalam
menghadapi dua atau tiga pandangan yang berbeda, sehingga subjek didik memahami
objek dan penalaran dari bdua atau tiga kerangka berpikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar