Senin, 02 April 2012

Seluk Beluk Pengajaran KBK Novel


LAPORAN BACAAN

PENGAJARAN APRESIASI SASTRA

“SELUK BELUK PENGAJARAN KBK NOVEL”




Oleh Kelompok 10:
Lisa Martantia           96367/2009
Inong Elistia               54445/2010
Firmansyah                18131/2010    
Prodi. Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah



JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA SASTRA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2012

SELUK BELUK PENGAJARAN KBK NOVEL
A.       Efikasi Pengajaran Novel sebagai Fiksi
Efikasi berarti kemujaraban. Efikasi pengajaran fiksi berhubungan dengan pengaruh kemujaraban fiksi bagi subjek didik. Fiksi adalah bentuk sastra yang seakan-akan melukiskan peristiwa atau kisahsesungguhnya. Fiksi tergolong karya prosa yang bersifat imajinatif.
Fiksi biasanya terdiri dari novel, cerpen,dongeng,dan roman. Cerita fiksi yang dikemas manis, seolah-olah akan mencerminkan kehidupan nyata, sehingga bila dijadikan sebagai bahan pelajaran akan semakin menarik. Harapan demikian akan menjadi kenyataan, apabila pengajaran mengajak subjek didik untuk membacadan menikmati.
Cepat atau lambat keberhasilan pengajaran fiksi tentu akan membawa dampak positif terhadap kehidupan subjek didik. Sayuti (1994: 5) mengatakan karya sastra bersifat evokatif dan sugestif. Karya sastra evokatif akan mampu memberikan daya gugah agar manusia (yang menghayati) semakin sadar akan eksistensinya sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap kehidupan, dan karya sastra bersifat sugestif akan lebih memiliki potensi untuk memberikan daya saran alternatif.
Pengajaran fiksi yang sampai menyentuh ke daya efikasi, tentu akan sangat efektif membentuk pribadi subjek didik. Dengan demikian, dapat ditarik kejelasan bahwa pengajaran fiksin yang berhasil akan mendapatkan daya:
1.      Antisipatif, mampu dan tanggap (tanggap sasmita) untuk mengontrol, meneropong, mengarahkan kehidupan yang mengejala ke luar rel.
2.      Filter, akan menyaring terhadap moralitas subjek didik, kepribadian, dan budaya bangsa pada umumnya.
3.      Benteng pertahanan, sebagai tanggul baja terhadap penyimpangan- penyimpangannorma kehidupan (Endraswara, 1998:53)




B.  Strategi Baru Pengajaran KBK Novel
1.    Mentradisikan Membaca Novel
Selama ini, pengajaran novel memang dipandang terlalu ketat bagi subjek didik dan pengajarnya. Alasannya adalah (1) tidak tersedianya cukup waktu di sekolah untuk membaca novel sampai tuntas, (2) di sekolah tidak tersedia aneka judul novel yang layak sebagai pilihan, dan (3) hampir setiap novel yang dipandangberkualitas relatif tebal.
Tugas seorang pengajar novel memang sedikit berbeda dengan pengajaranfiksi lain, cerpen misalnya. Apalagi, novel merupakan karya yang tebal dan tentu akan menyedot dana yang relatif banyak, tentu harus hati-hati untuk menuju pengajaran yang efektif dan efisien. Yang harus dilakukan seorang pengajar novel adalah:
1.      Mendorong subjek didik agar berminat dan tekun membaca, memilih sendiri novel yang disukai, dan membuat sinopsis sendiri.
2.      Menghindari subjek didik hanya membaca sinopsis novel dari orang lain.
3.      Memberikan contoh cara membaca novel yang baik.
4.      Membaca novel sebaiknya diarahkan sebagai tugas rumah secara individual, dari tugas tersebut selanjutnya dibicarakan dan dididkusikan dalam kelompok kecil.
5.      Setiap kelas dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing dapat membaca novel yang berbeda, seterusnya diadakam diskusi.
6.      Setiap semester diadakan lomba membaca sinopsis novel.
7.      Setiap diadakan lomba sebaiknya yang dilombakan lebih dari lima judul novel untuk mengevaluasi sedikit-banyaknya subjek didik membaca novel.
Dari tugas-tugas pengajar tersebut, tampak sekali bahwa membaca novel adalah suatu keharusan bagi subjek didik. Subjek didik seyogyanya terus-menerus didorong, diberikan sugesti, dan diberi peluang untuk membaca. Tradisi membaca novel ini harus dibudayakan sejak awal masuk sekolah, agar tiodak menemukan kesulitan dikemudian hari. Karena, novel tergolong karya tebal yang tidak bisa dibaca sekali duduk.membaca novel perlu konsentrasi, meskipun ada novel yang layak untuk selingan. Karena, itu pengajar harus jeli dalam mengarahkan subjek didik untuk membaca novel.
2.    Seleksi Novel
Pengajar sastra, kadang-kadang merasa sulit menentukan novel mana yang relevan diajarkan. Dalam jagad sastra Indonesia, terlalu banyak terbitan novel yang mengalir deras. Mulai dari novel serius, sampai novel hiburan.
Yang penting dalam pengajaran sastra, termasuk novel, kalau berpijak pada asumsi Rodrigues dan badaczweski (1978:93) ada pepatah yang berbunyi “you can lead a horse to waterbut can’t make him drink”. Pepatah ini mengibaratkan bahwa pangajar boleh saja mengasumsikan subjek didik sebagai “Kuda” dan novel seperti “air”. Kita boleh saja mengajak subjek didik agar membaca sejumlah novel, namun mau tidaknya subjek didik menikmati tergantung interes subjek didik. Pengajar tak dapat memaksa subjek didik harus membaca novel tertentu, melainkan hanya boleh memberikan rambu-rambu dengan iklim kebebasan.
Hampir semua orang memahami, kalau sistem pengajaran novel di sekolah hampir dilakukan dengan sistem top down. Subjek didik sudah diberi barang jadi, telah dipilih oleh penulis buku, oleh perancang kurikulum,dan juga oleh pengajarnya. Jarang sekali ada sekolah yang mampu melanggar dari sistem yang telah diatur dan tertata rapi itu, kalau tidak mau subjek didiknya kalang kabut dalam menjawab soal-soal ujian.
Zulfahnur (1989:165) menyatakan, tugas pengajar sastra antara lain menyeleksi novel sebagai bahan ajar. Tugas ini, tentu harus dipahami sebagai upaya untuk menentukan beberapa novel alternatif yang akan menjadi pilihan subjek didik. Tugas demikianlah, bukanlah mutlak dan harga mati. Karena itu, tugas yang diemban dipandang sebagai pelayan saja, untuk meneleksi novel mana saja yang layak dibaca oleh subjek didik pada tingkat tertentu.
Persoalan yang mungkin hadir, dari tugas ini antara lain:
1.      Pengajar sering mengandalkan novel tertentu sesukanya atau menurut seleranya.
2.      Pengajar belum tentu memiliki koleksi novel yang cukup.
3.      Pengajar yang kurang menguasai kriteria seleksi novel, juga akan menyesatkan.
Seleksi novel memang menjadi ujung tombak keberhasilan pengajaran. Hal ini ditegaskan Moody (1971:44), jika seleksi novel dilakukan secara baik dan mendalam dengan penuh khayalan, bentuk sastra ini akan dapat mengembangkan minat dan ketaatan subjek didik dalam membaca novel, dan selanjutnya mereka akan mau membaca novel secara pribadi.
Secara garis besar, untuk memilih novel perlu memperhatikan dua hal, yaitu kevalidan dan kesesuaian. Kevalidan berhubungan dengan kriteria dari aspek-aspek kesastraan, sedangkan kesesuaian berkaitan dengan subjek didik sebagai konsumen novel dan proses pengajaran novel. Kevalidan, meliputi berbagai hal, antara lain novel harus benar-benar teruji sehingga ditemukan good novel. Untuk itu penyeleksi dapat menerapkan kriteria: (1) mencari novel yang memuat nilai pedagogis, (2) novel yang mengandung nilai estetis, dan (3) novel yang mudah dijangkau.
Valid tidaknya sebuah novel, perlu memperhatikan konteks bentuk dan isi. Karenanya, seleksi novel perlu memperhatikan kejelasan tema, alur, bahasa, watak, latar, dan pusat pengisahan. Menurut Wardani (1981:35) perlu pula memperhatikan lukisan peristiwa, lukisan perasaan, diksi, susunan kalimat, dan urutan peristiwa (alur).
Dalam kaitannya dengan isi, Rodrigues dan Badaczewski (1978:91) novel yang dipilih sebagai bahan ajar adalah:
a.       Novel yang dapat membantu subjek didik ke arah pemahaman tingkah laku diri sendiri maupun orang lain.
b.      Novel yang dapat membantu subjek didik dalam mengisi nilai-nilai estetis dalam hidupnya.
c.       Novel yang dapat membantu subjek didik untuk mengidentifikasi tingkah lakunya.
d.      Novel yang menawarkan pemahaman terhadap tingkah laku manusia.
Dalam hal isi, pengajar satra hendaknya juga mampu memilih novel yang menggambarkan kehidupan manusia agar menjadi manusia yang sempurna, dan memiliki jiwa kemanusiaan sejati, mengenal nilai-nilai hakiki, dan mendapatkan ide-ide baru (Semi,1993:153).
Dalam kaitan dengan novel yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, Levine (1974:11-13) berpandangan bahwa, novel yang diajarkanhendaknya dapat bdipahami secara keseluruhan dan bukanlah novel yang menyesatkan. Istilah lain dari novel demikian adalah “realisme”, novel yang menggambarkan dunia nyata kehidupan manusia. Ciri-ciri novel realistik, menurut Levine ada enam hal, yaitu: (1) menghadirkan plenampilan pengalaman secara rinci, (2) menyuguhkan tokoh-tokoh halnya dalam kehidupan sosial, (3) menghadirkan lingkungan sosial dan saling pengaruh-mempengaruhi antara tokoh dan masyarakat, (4) kadang-kadang menghadirkan pikiran tokoh secara detail, (5) menampilkan tokoh yang tidak sederhana, melainkan tokoh yang kompleks, dan (6) lukisan tokoh simbolik atau alegori boleh-boleh saja.
Kesesuaian, dapat ditempuh melalui kriteria: (a) bahasanya tidak terlalu sulit diikuti subjek didik, (b) sejalan dengan lingkungan sosial budaya subjek didik, (c) sesuai dengan umu, minat, dan perkembangan kejiwaan, dan (d) memupuk rasa keingin tahuan.
C.  Penyajian KBK Novel: Model Gordon
Model Gordon menekankan pada keaktifan dan kreatif subjek didik yang dikenal dengan CBSAK (cara belajar siswa aktif kreatif). Dalam proses sinektik diperlukan keterlibatan emosional subjek didik. Model Gordon mengenal tiga teknik, yaitu:
1.      Analogi personal
Subjek didik diajak mengidentifikasi unsur-unsur masalah yang ada dalam novel.
2.      Analogi langsung
Dalam hal ini masalah yang telah diidentifikasi pada tahap analogi personal mulai disejajarkan dengan lingkungan sosial budaya subjek didik.
3.      Konflik kempaan
Yaitu mempertajam pandangandan pendapat pada posisi masing-masing, terutama dalam menghadapi dua atau tiga pandangan yang berbeda, sehingga subjek didik memahami objek dan penalaran dari bdua atau tiga kerangka berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar