INTERFERENSI BAHASA
MINANGKABAU KE DALAM BAHASA INDONESIA DALAM PROSES JUAL BELI BAJU TIDUR DI
PASAR RAYA PADANG
Diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Sosiolinguistik yang dibina oleh
Prof. Syahrul. R.
Kode Seksi 27805
Ade Atika Putri Wahyuni
17335/2010
Ika Purnama Yulia
Fithri 18179/2010
Inong Elistia
54445/2010
Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Daerah
Fakultas Bahasa dan
Seni
Universitas Negeri
Padang
Padang
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa karena dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Interferensi Bahasa dalam Kegitan Jual
Beli di Pasar Raya Padang.” Penyusunan makalah ini merupakan salah satu persyaratan
kelulusan mata kuliah Sosiolinguistik.
Penulisan makalah ini tidak terlepas
dari bantuan dan dorongan berbagai pihak, terutama sekali penulis mengucapkan
terima kasih kepada Prof. Syahrul, R., selaku dosen mata kuliah Sosiolinguistik
di kelas Reguler A dengan seksi 28705. Ucapan terima kasih yang tulus tidak
lupa penulis ucapkan kepada teman-teman yang memotivasi dan memberikan
semangant kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat sehingga usaha penulis dan
bantuan dari berbagai pihak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Penulis masih
mengharapkan adanya kritikan dan saran yang bermanfaat dari semua pihak. Akhir
kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semuanya dengan pahala yang berlipat
ganda, Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Padang,
Desember 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bahasa berfungsi sebagai alat
kominikasi. Sebagai alat komunikasi bahasa memiliki peran yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya bahasa manusia tidak dapat berkomunikasi
dengan sesamanya. Komunikasi bisa terjadi dalam kelompok soial tertentu dan
dalam situasi tertentu. Misalnya, komunikasi yang terjadi pada ruang sidang
penagdilan merupakan salah satu contoh situasi resmi yang menggunakan ragam
Bahasa Indonesia Baku. Sebaliknya, contoh situasi tidak resmi yaitu komunikasi
yang terjadi antara seorang penjual pakaian dengan calon pembeli disebuah pasar
tradisional.
Masyarakat Indonesia pada umumnya
adalah dwibahasawan. Begitu juga dengan masyarakat yang tinggal di daerah
Sumatera Barat. Masyarakat yang tinggal di Sumatera Barat khususnya suku bangsa
Minangkabau memakai Bahasa Mingkabau sebagai bahasa pertamanya dan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa keduanya. Masyarakat Minangkabau menggunakan Bahasa
Minangkabau untuk berkomunikasi dengan anggota kelompoknya. Sedangkan Bahasa
Indonesia digunakan oleh masyarakat Minagkabau untik berkomunikasi dengan
orang-orang yang tidak mengerti dengan Bahasa Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau banyak
bermatapencarian sebagai pedagang. Sebagai pedagang masyarakat Minangkabau
menghadapi calon pembeli yang tidak hanya berasal dari suku bahasa Minangkabau,
tetapi juga berasal dari suku bnagsa lain yang memiliki bahasa yang berbeda.
Agar proses jual beli berjalan dengan lancar pedagang harus menggunakan bahasa
Indonesia yang baik. Kenyataan di lapangan sering terjadi kekacauan bahasa,
baik itu yang dilakukan oleh pedagang
maupun pembeli. Hal ini sebut dengan interferensi bahasa. Biasanya interferensi
terjadi dari bahasa Minangkabau (B1) ke dalam bahasa Indonesia (B2).
Berdasarkan permasalahan di atas
penulis tertarik untuk membahas interferensi Bahasa Minangkabau ke dalam Bahasa
Indonesia dalam makalah ini. Karena disuatu sisi fenomena interferensi bahasa
menunjukkan dinamika penutur. Tetapi disisi lain menyebabkan pelanggaran
aspek-aspek linguistik bahasa penyerap.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas dapt dirumuskan masalah pada makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana
interferensi Bahasa Minangkabau ke dalam Bahasa Indonesia dalam proses jual
beli di Pasar Raya Padang?
2. Apakah
penyebab terjadinya interferensi pada proses jual beli di Pasar Raya Padang?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Interferensi
Interferesnsi merupakan bagian dari
kedwibahasaan yang mengkaji tentang kesalahan berbahasa. Menurut Kridalaksana
(dalam Sarwiji Suwandi, 2008:3), adalah: (1) penggunaan unsur bahasa lain oleh
bahasawan yang bilingual secara individual dalam satu bahasa; ciri-ciri bahasa
lain itu masih kentara dan (2) kesalahan berbahasa berupa unsure bahasa sendiri
yang dibawa ke dalam bahasa atau dialek yang dipelajari. Senada dengan hal ini
Abdul Chaer dan Agustina (2004:128) mengemukakan bahwa pada satu sisi
interferensi dipandang sebagai “pengacauan” karena “merusak” sistem suatu
bahasa. Dan para ahli bahasa menjelaskan fenomena interferensi berkenaan dengan
perbedaan stuktur antara bahasa satu dengan bahasa lainnya, Barkman (dalam
Sarwaji, 2008:3). Interferensi itu dapat terjadi dalam semua komponen
kabahasaan: fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang disebabkan
perbedaan stuktural antarbahasa. Dalam masyarakat bilingual, interferensi
selalu menyebabkan terjadinya perubahan stuktur, baik dalam salah satu bahasa
maupun dalam kedua bahasa.
Menurut Alwasilah (1985: 131),
menjelaskan interferensi berdasarkan Hartman dan Stonk bahwa interferensi
merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan
pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencangkup pengucaoan,
satuan bunyi, tata bahasa, kosa kata. Menurut Jendra (1991:109), mengemukakan
bahwa interferensi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata
bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis),
kosa kata (leksikon) dan tata makna (semantik).
Cakupan interferensi tidak terlepas dari
bahasa lisan, tetapi bahasa tulis. Weinrich (dalam Nursaid dan Marjusman Maksan,
2002:136) mengemukakan bahwa interferensi adalah beberapa penyimpangan dari
norma-norma bahasa yang terjadi dalam tuturan dwibahasawan sebagai akibat pengenalannya terhadap bahasa
lain. Selanjutnya, diperluas lagi oleh Haugen (dalam Nursaid dan Marjusman
Maksan, 2002:136) mengatakan bahwa interferensi adalah pengambilan unsure-unsur
dari suatu bahasa yang dipergunakan dalam hubungannya dengan bahasa lai.
Interferensi berupa penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa lain pada saat
berbicara atau menulis. Di dalam proses interferensi, kaidah pemakaian bahasa
mengalami penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Pengambilan
unsure yang terkecil pun dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua dapat
menimbulkan interferensi. Interferensi adalah masuknya unsure suatu bahasa kedalam
bahasa lain yang mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yang memasuki baik
pelanggaran kaidah fonologis, gramatikal, leksikal maupun semantik.
Berdasarkan pandangan para pakar di
atas, dapat disimpulakan bahwa interferensi merupakan penyimpangan atau kekeliruan
dari norma-norma bahasa yang terjadi di setiap bahasa, disebabkan oleh
kedekatan penutur dengan bahasapertama yang terbawa ketika mempelajari atau
mengenal bahasa kedua dan interferensi juga mencangkup bahasa tulis dan lisan.
B.
Penyebab
Terjadinya Interferensi
Menurut Nursaid dan Marjusman
Maksan (2002: 135) mengungkapkan adanya pengaruh kontak dua bahasa atau lebih
dalam diri individu yang mengakibatkan terjadinya pentransferan unsur-unsur
suatu bahasa ke bahasa lain. Sejalan dengan itu menurut Weinrich (dalam
Ruriana, 2010:64-65) selain kontak bahasa ada beberapa factor lain terjadinya
interferensi yaitu:
1. Kedwibahasaan
Peserta Tutur
Kedwibahasaan peserta tutur
merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari
sumber bahasa, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan
terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahsawan, yang pada
akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2. Tipisnya
Kesetiaan Pemakai Bahasa Penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap
bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sifat kurang positif. Hal itu
menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur
bahasa sumber yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya
akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan
oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
3. Tidak
Cukupnya Kosa Kata Bahasa Penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa
pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai sisi kehidupan yang
terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang
dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehiduan
baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu.
Karena mereka belum mempunyai kosa kata untuk mengungkapkan konsep baru
tersebut, lalu mereka menggunakan kosa kata sumber untuk mengungkapkannya,
secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosa kata bahasa
sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidakcukupan atau
terbatasnya kosa kata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru
dalam bahasa sumber cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena
kebuuhan kosa kata baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemaikai
bahasa. Kosa kata baru yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan
lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk
memperkaya pembendaharaan kata bahasa penerima.
4. Menghilangkan
Kata-kata yang Jarang Digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang
jarang digunakan cenderung kan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosa
kata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa
tersebut dihadapan pada konsep baru dari luar, disuatu pihak akan memanfaatkan
kembali kosa kata yang sudah menghilang dan di pihak lain kan menyebabkan
terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosa kata baru dari
bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh
menghilangnya kosa kata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat
seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosa kata bahasa penerima,
yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan
karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.
5. Kebutuhan
akan Sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa memiliki
fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi pemilihan kata untuk
menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan
kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunya variasi
kosa kata yang dipergunakan untuk menghindari kata secara berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup
penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan
atau peminjaman kosa kata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada
bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosa kata yang bersinonim dapat
menimbulkan interferensi.
6. Prestise
Bahasa Sumber dan Gaya Bahasa
Prestise bahasa sumber dapat
mendorong timbulnya interferensi karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa
dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap bahasa berprestise tersebut.
Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa
untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena factor itu
biasanya berupa pemakaian bahasa unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima
yang dipergunakan.
7. Terbawanya
Kebiasaan Bahasa Ibu
Kebiasaan bahasa ibu pada bahasa
penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol
bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi
pada dwibahasaan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional mau pun
bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kedua kurang
kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara
atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua maka yang muncul adalah kosa kata
bahasa pertama atau bahasa ibu yang sudah dulu dikenalnya.
Interferensi yang terjdi antara
bahasa mingkabau dalam pemakaian dalam bahasa indoneis disebabkan adanya
pertemuan atau persentuhan dua bahasa tersebut. Interferensi ini bisa terjadi
pada lafal, pembentukan kata, pembentukan kalimat, dan kosa kata.
C.
Tataran
Interferensi
Interferensi dapat terjadi pada semua
komponen kebahasaan, yaitu bidang tataran bunyi, tata bentuk, tata kalimat,
leksikal dan semantik. Macky (dalam Nursaid dan Marjusman Maksan, 2002 : 138)
membicarakan tingkat-tingkat interferensi cultural
phenomena and expertence, semantic lexical, grammatical (parts of speech,
gramamatical categories, function, forms, and phonological (intonation rythms,
calenation, and articulation).
Beardsmore (dalam Nursaid dan Marjusman
Maksan, 2002: 138) memandang interferensi merupakan penggunaan kode suatu
bahasa ke dalam konteks bahasa yang lain yang dapat terjadi pada subsistem
suatu bahasa seperti fonologis, leksikon, atau semantik sebagai akibat dari
kontak bahasa. Jadi, Beardsmore memandang tataran interferensi mencakup fonologis,
morfologis sintaksis dan semantik dan interferensi itu disebabkan oleh kontak
bahasa. Hal senada juga diungkapkan dalam Nursaid dan Marjusman Maksan 2002:
139) yang menyatakan bahwa kontak bahasa merupakan faktor-faktor utama penyebab
timbulnya interferensi.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat
disimpulkan bahawa tataran interferensi mencakup fonologis, morfologis,
sintaksis, dan semantik.
D.
Jenis
Interferensi
Jenis interferensi menurut Nababan
(1993:33-35), yakni: (1) interferensi
reseptif, (2) interferferensi produktif, dan (3) interferensi sistemik.
Pertama, interferensi reseptif terjadi oleh seseorang bilingual dan juga
orang-orang yang menggunakan dua bahasa pada rumpun bahasa yang berbeda. Kedua,
interferensi produktif interferensi yang terjadi pada repsentasi. Baik
interferensi reseptif maunpun interferensi produktif sama-sama terdapat dalam
tingkah laku bahasa penutur bilingual atau yang disebut sebagai interferensi
perlakuan. Ketiga, interferensi sistemik merepakan interferensi yang kelihatan
dalam bentuk perubahan dalam satu bahasa dalam suatu unsur bunyi atau stuktur
dari bahasa lain. Interferensi sistemik dapat terjadi oleh pertemuan/persatuan
antara dua bahasa melalui interferensi perlakuan dari penutur yang berdwibahasa.
Perubahan yang dihasilkan adalah perubahan bahasa dalam sistem bahasa.
E.
Analisis
Data
Tanggal 8 September 2012, ditemukan
interferensi pada tuturan penjual dan pembeli di los toko penjualan baju tidur.
Interferensi yang ditemukan dari pembeli (Ade) dan Penjual (Muhidin) adalah
interferensi pada tataran morfologi dan semantik. Untuk lebih jelasnya akan
diuraikan pada paragraf berikut ini.
Pada tataran morfologis ditemukan
kata kayak-kayak pada kalimat yang
dilontarkan Muhidin, yaitu “Iya bahannya kayak-kayak gini ini ya itu lah gelap
dasarnya kalau bahan katun warnanya agak terang, ini ada pink ada oren.” Selain
itu kata gelapan pada kalimat Ade,
yaitu “Tapi warnanya agak gelapan dikit gitu.” Selanjutnya, kata make pada kalimat Muhidin, yaitu “Cobalah
yang make siapa.” Kata jarang dan indak pada kalimat Ade sebagai pembeli,
yaitu “Ini jarang atau indak. Kata aja pada
kalimat Ade, yaitu “Ini aja lah bang” dan kalimat Muhidin “Ini aja, satu aja.”
Dalam tuturan antara Penjual
(Muhidin) dan pembeli (Ade) sangat banyak ditemukan interferensi dalam tataran
sintaksis. Hampir semua tuturan dalam komunikasi antara penjual dan pembeli itu
mengandung kesalahan berbahasa dalam aspek interferensi. Stuktur kalimat Bahasa
Minangkabau yang digunakan dalam kehidupan sehari hari baik itu penjual maupun
pembeli mempengaruhi pengucapan kalimat dalam Bahasa Indonesia. Kalimat
tersebut adalah: 1) empat puluh lah, 2) itulah abang bilang, 3) pas ajalah
empat puluh ya, 4) yang lain apa lagi, 5) yang itu aja lah, tapi ada ngak bang yang
kayak apa?, baju tidur tapi corak batik, 6) sama pilih ajan lah, 7) ini aja lah
bang, dan 8) empat puluh kan bang.
Pada kalimat “empat puluh lah,”
terdapat interferensi Bahasa Minangkabau terhadap Bahasa Indonesia. Dalam Bahasa
Minangkabaunya empek puluh lah. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia seharusnya empat
puluh saja. Lah merupakan partikel
dalam Bahasa Minangkabau yang menyebabkan interferensi dalam kalimat tersebut.
Kalimat “itulah abang bilang”
terdapat interferensi Bahasa Minangkabau terhadap Bahasa Indonesia. Kalimat
tersebut merupakan Bahasa Minagkabau yang di Indonesiakan. Kalimat tersebut
menggunakan stuktur Bahasa Minangkabau. Seharusnya kalimatnya berbunyi “Abang
tadi sudah mengatakan.”
Kalimat “pas ajalah empat puluh ya”
mengandung unsur interferensi. Perbaikan kalimat tersebut seharusnya “Pas empat
puluh saja, ya.” “Kalimat yang lain apa lagi,” seharusnya apa lagi yang lain.”
Kalimat “yang itu aja lah, tapi ada ngak bang yang kayak apa?, baju tidur tapi
corak batik”. Seharusnya “Hanya itu, tetapi ada tidak baju tidur yang coraknya
batik.” Kalimat “Sama, pilih ajan lah.” Seharusnya dalam Bahasa Indonesia
adalah “Sama, silahkan pilih.” Kalimat “ini aja lah bang.” Seharusnya hanya ini
Bang.” Dan kalimat terakhir adalah “Empat puluh kan bang.” Seharusnya kalimat
yang sesuai dengan tata bahasa Indonesia adalah “Empat puluh, Bang.”
Dari data di atas dapat dilihat
bahwa interferensi timbul karena penjual dan pembeli sehari-harinya menggunkan
Bahasa Minangkabau. Sehingga dalam berbahasa Indonesia mereka melakukan
interferensi. Selain itu tidak adanya padanan kata dan keterbatasan
pembendaharaan kosa kata yang dimiliki oleh penjual dan pembeli tersebut. Dan
hal itulah yang menyebabkan terjadinya interferensi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam proses jual beli antara
penjual dan pedagang di Pasar Raya Padang ditemukan interferensi Bahasa
Minangkabau ke dalam Bahasa Indonesia. Interferensi yang ditemukan terdapat
pada tataran morfologis dan sintaksis. Lebih banyak ditemukan interferensi
dalam tataran semantik daripada tataran morfologis. Sedangkan penyebab terjadi
interferensi tersebut adalah keseharian penjual dan pembeli menggunakan Bahasa
Minangkabau sebagai bahasa sehari-harinya sehingga terbawa dalam mengucapkan
bahasa Indonesia. Selain itu pembendaharaan kosa kata yang sedikit menjadi
salah satu penyebabnya.
B.
Saran
Penjual sebaiknya dapat menguasai
Bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga proses jual beli dapat berjalan
dengan baik. Dan bagi calon pendidik seharusnya mampu menggunakan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar sehingga mengurangi terjadinya interferensi
dikalangan masyarakat, khususnya siswa. Dengan adanya perbaikan tersebut maka
pergeseran bahasa tidak akan terjadi.
KEPUSTAKAAN
Alwasilah, A. Chaedar. 1985.
Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Lingistik. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina.
2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Jendra, I Wayan. 1992. Dasar-dasar
Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Nababan, P.W.J.1993. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Nursaid dan Marjusman Maksan. 2002. Sosiolinguistik.
Padang: FBS UNP.
Rurina, dkk. 2010. “Interferensi
dan Integrasi Bahasa”. Jurnal. hhtp://pusatbahasa
alajhar.wordpress.com/hakikat-kahikiki-kemerdekaan/interferensi/. Diunduh
tanggal 8 Desember 2012.
Transkrip
Rekaman Situasi Kebahasaan Jual Beli di Pasar Tradisional
1. Hari,
Tngl pengamatan: Minggu, 18 September 2012
2. Latar
a. Tempat : Pasar Raya Padang
b. Waktu : Jam 10:47 WIB
c. Suasana :
Saat itu kami bertiga
memasuki penjual baju tidur di Pasar
Raya Padang. Los dalam keadaan
becek dan sepi pengunjung, karena hujan baru reda. Kami mungunjungi kadai Bang
Muhidin (penjual baju tidur) yang
berusia sekitar 35 tahun karena di kadainya tidak ada pembeli lain selain kami
bertiga.
3. Topik
pembicaraan :
Transaksi Jual beli.
Pembeli (Ade) menanyakan baju) tidur pada penjual (Bang Muhidin). Pembeli
menginginkan baju tidur yang berwarna gelap. Maka terjadilah percakapan antara
penjual dengan pembeli.
Ade
:
gelap ada nggak?
Muhidin : gelap ada
Ade : tapi kain juga
Muhidin : iya bahannya kayak-kayak gini ini
ya itu lah gelap dasarnya kalau bahan katun warnanya agak terang, ini ada pink
ada oren.
Ade :
ya soalnya kan kayak ini juga
Muhidin :ya
Ade :
tapi warnanya agak gelapan dikit gitu
Muhidin : ada, warnanya biru lagi dek
Ade :
Ika, ngak suka, yang mana, boleh dicoba
Muhidin : cobalah yang make siapa
Ade :
saya
Muhidin : ha bisa tu
Ade :
kalau yang ini khusus yang panjang ada ngak
Muhidin : a..aa, yang panjang, yang tiga
perempat ya
Ade :
ini jarang atau indak
Muhidin : ngak, ngak akan membayang , ini ngak
akan memmbayang
Ade :
maaf ya bang, lihat-lihat
Muhidin : beli aja dua, ambil pendek satu
panjang satu, motif beda
Ade :
harganya berapa?
Muhidin : kalau yang pendek enam lima, panjang
tujuh lima, bisa kurang
Ade :
boleh ditawar bang
Muhidin :boleh, hehehe, ukurannya panjang
pendek sama, cuma yang bedanya panjang celananya aja.
Ade
: ngak ada yang ukuran XL
Muhidin : satu ukuran semua
Ade :
tapi kalau warnanya
Muhidin : warnanya cuma ada pink, biru, sama
oren
Ade :
bisa ditawar bang
Muhidin : boleh, ditawar boleh, kalau mau
ngasih 65 juga ngk apa-apa, hahaha
Ade :
ngak ah mahal kali
Muhidin : ambilnya berapa lembar
Ade :
satu aja, berapa bang?
Muhidin : lima puluh
Ika
(teman Ade): empat puluh lah,
Ade :
ha lapan puluah
Ika
(teman Ade): ampek
Muhidin : anam limo abang ngecean, lapan
puluah hahahha
Ade :
kalau tiga lima gimana bang
Muhidin : itu lah abang bilang,
Ade :
berapa sih bang pasnya , mau ngak empat puluh
Muhidin : kenapa?
Ade :
pas aja lah empat puluh ya
Muhidin : satu atau dua
Ade
:
satu
Muhidin : yang lain apa lagi
Ade : yang itu aja lah, tapi ada
ngak bang yang kayak apa.... baju tidur, tapi coraknya batik
Muhidin : bang caliak dulu
Ade :
ya, yang ini berapa bang
Muhidin : kalau yang panjang lima puluh, kalu
yang pendek empat puluh
Ade :
sama,
Muhidin : sama, pilih ajalah
Ade : panjang semua ya bang, kalau
yang pendek ini Cuma bajunya aja ya bang
Muhidin : stelan ada
Ade :
oh, yang ini
Muhidin : ya
Ade :
ini aja lah bang
Muhidin : ini aja, satu aja
Ade : empat puluh kan bang
Muhidin : empat lima kan?
Ade : empat puluh tadi, huhuhu
Muhidin : ini, makasih ya dek
Ade : sama-sama
OLEH:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar